”Ibarat kehidupan manusia, ada masa kelahiran, tumbuh, dewasa, tua dan akhirnya mati. Demikian pula dengan organisasi termasuk negara, bahkan peradaban. Dalam sejarah peradaban Islam, ada masa kebangkitan, kejayaan dan keruntuhan” (Anis Matta)
“Cicak vs Buaya”. 3 kata yang membuat mayarakat resah, tiga kata yang membuat president mengultimatum kepada berbagai pihak agar menghilangkan “Cicak vs Buaya” ini. Tentu hal ini berkaitan dengan kasus yang dialami KPK baik oleh ketuanya Antazari Azhar maupun oleh ketua sementara bibit dan chandra. Menjadi sebuah lembaga penegakan keadilan memang tidak mudah. Banyak rintangan-rintangan yang dihadapi terutama dari mereka para koruptor, segala cara dilakukan agar “aib” nya tidak terbongkar oleh KPK. fitnah memfitnah sudah jadi hal yang biasa, tanpa memperdulikan dosa atau tidak. Jika hal ini sudah terbiasa, bagaimana untuk generasi masa depan? untuk adik-adik kita atau untuk anak-anak dan cucu-cucu kita? Moralitas dipertaruhkan disini. Tidak banyak masyarakat yang “tidak lulus” dengan moralitasnya sendiri. Tergiur hanya untuk sementara.
Menjadi salah satu petugas di lembaga penegakan keadilan memang tidak mudah, mental sudah menjadi prioritas utama. Harus bisa tahan banting terhadap berbagai kecaman-kecaman, nyawa dan keluarga pun menjadi taruhannya.
Awal kasus muncul pertama kali dialami oleh ketua KPK Antazari azhar, keterlibatannya dalam cinta segi tiga dan pembunuhan nasrudin zulkarnaen. Yang sampai saat ini titik terangnya mulai bermunculan. Nangisnya antazari azhar terhadap kesaksian Williardi Wizard yang menyatakan bahwa ada menipulasi terhadap kasus yang dialami oleh Antazari membuat antazari sedikit lega. Apalagi dengan kesaksian Noviana Istri Williardi yang menyatakan hal sama bahwa ada beberapa pihak yang menekankan kepada suaminya untuk memanipulasikan kasus Antazari Azhar.
Yang paling membuat geram masyarakat adalah ketika kapolri menangkap Bibit&Chandra terhadap dugaan kasus penyuapan dan pemerasan. Ini sebab munculnya kata “cicak vs buaya”. Keresahan pun dialami oleh presiden diawal masa pemerintahan barunya. SBY kemudian membentuk TIM delapan yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution. Tentu kinerja tim ciptaan presiden ini harus cepat. Rakyat pun tidak tinggal diam, berbagai aksi protes dilakukan oleh berbgai kalangan masyarakat. Akhirnya kapolri pun membebaskan bibit&chandra karena dinilai belum rampung bukti-buktinya. Ini yang justru membuat citra kapolri jadi semakin buruk dihadapan rakyat. Menurut sumber Pikiran Rakyat ada 4 kesimpulan polisi tidak punya cukup bukti untuk menjerat bibit dan chandra. Pertama polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Bibit dan Chandra ke pangadilan. Dua andai kata ada tindak pidana, aliran dana dari Anggodo Widjojo ke Ary Muladi terputus. Tidak ada bukti yang menyatakan uang tersebut sampai ke tangan pimpinan KPK. Ketiga andai kata dipaksa dengan dakwaan penyalahgunaan wewenang, juga lemah karena menggunakan pasal karet. Keempat apa yang dilakukan chandra terkait dengan pencekalan Anggoro sudah lazim di KPK sehingga tidak perlu dipersoalkan. Sudah tentu bukti-bukti itu membuat rakyat semakin geram apalagi dengan tampilnya Anggodo di salah satu stasiun tv tidak membuat masyarakat merasa kasihan terhadapnya. Malah itu membuat Gerakan Masyarakat Mendukung KPK melakukan aksi di bundaran HI, lucunya dalam aksi itu dipampangkan poster Anggodo Widjojo berseragam polisi. Pada kasus ini diharapakan dapat menjadi pintu masuk untuk membersihkan sistem hukum di indonesia dari praktik-praktik mafia.
Peran serta pemuda tentu sangat diharapkan agar tidak menjadi contoh bagi mereka nanti. Rahasia Kesuksesan kebangkitan Islam adalah manakala syarat-syarat tegaknya Islam di kali pertamanya bisa dipenuhi kembali. Menyangkut hari pahlawan 10 November ini tentu akan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan mengenai makna pahlawan itu sendiri dalam tubuh lembaga penegakan hukum di Indonesia. Kini masyarakat sangat membutuhkan sosok pahlawan. Ketika terjadi rivalitas antara polri, kejagung, dan KPK, masyarakat berusaha menemukan sosok pahlawan itu dalam wujud tokoh-tokoh yang menghuni ke tiga institusi penegakan hukum tadi.
Saat ini masyarakat seperti menjadi penonton pertunjukan drama raksasa antara Polri, kejagung dan KPK yang endingnya pun belum terlihat. Malah masing-masing berargumentasi dengan data, testimoni dan keterangan saksi. Dimanakah para pahlawan kini??
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar